Mengulas Film “Ghost Writer”


Hei, hei. Lama lah kita tak jumpa :D Yah, saya tau kalian tidak senang. Tetapi, coba tebak, aku pun sama tidak senangnya hahaha. Bercanda teman :D Okay, dikarenakan sekarang saya tidak peka terhadap lingkungan sosial, jadilah saya hanya bisa mengomentari segala hal yang saya tonton. Film “Ghost Writer” salah satu yang akan menjadi korban nyinyiran-ku.


Hasil gambar untuk ghost writer


“Ghost Writer” merupakan film garapan Bene Dion Rajaguguk, yang mana saya mengetahui dia pertama kali sebagai Stand Up Comedy-an, dan ini adalah film pertamanya. Menceritakan tentang kisah seorang penulis bernama Naya (Tatjana Saphira) yang kehabisan ide untuk novel keduanya. Namun, datang hantu bernama Galih (Ge Pamungkas) yang memberikan inspirasi cerita untuk Naya melalui kisah hidupnya yang menurut Naya cukup menarik untuk dinovelkan. Satu syarat dari Galih yang harus Naya penuhi agar novel itu terwujud yaitu tidak boleh melebih-lebihkan cerita hidupnya. Sayang, editor Naya menginginkan lebih dari itu yang memaksanya untuk mengubah cerita aslinya agar lebih dramatis dan menjual. Hal ini memunculkan kemarahan dari Galih karena Naya telah melanggar janjinya. Then? Untuk kelanjutannya saya persilakan untuk menonton, hehehe.

Film ini diproduseri oleh Ernest Prakasa, yang mana saya menjadi pengikut akun instagramnya, tentu saya tahu sounding dari film ini. Jujur, trailernya cukup menjual, dan sounding Ernest cukup kencang dan menarik dengan menambah konten-konten seputar perfilman. Tak sengaja saya menonton opini dari Bene Dion mengenai film tersebut, dia mengatakan, “Justru yang membuat penonton tertawa adalah komedi yang kecil (receh), mungkin karena suasana filmnya horor sehingga diberi sedikit humor langsung pecah. Namun, horornya kurang dari ekspektasi.”

Saya setuju dengan semua ya dikatakan Bang Bene. Memang, hampir semua komedinya pecah. Ya memang kecil, but I think that was a good comedy. And I can relate about how funny it is because it is in horror situation, like Bene’s said. Kedua, horor nya memang nggak dapat. Namun, bagi saya yang bukan pecinta horor itu lumayan cukup bisa membuat saya menutup mata, hehe. Tapi, nggak terlalu lama horornya, mungkin karena komedi yang dilontarkan Ge sebagai Galih membuat derajat situasi menakutkannya turun satu level. Menurutku satu-satunya yang stay dengan karakter horornya sampai akhir cerita adalah Bening (Asmara Abigail). She was amazing.

Yang kurang, klimaks cerita yang nggak oke banget. I don’t know, kayak biasa saja gitu. Ya memang drama  itu seperti itu, mau bagaimana lagi. Oh dan juga, efek-efek ilusi kurang halus, itu yang membuat agak ganjil. Saya juga merasa ada transisi yang aneh, semacam adegannya terpotong, dan itu lumayan banyak. Tapi semua itu tertutup dengan betapa indahnya ending dari film ini. Oh, dan juga dialog-dialognya yang sangat cantik.


Mungkin itu saja. Yah lama tidak jumpa hasilnya gini deh, tengkyu dah baca, see ya.

Comments

Popular posts from this blog

Hiks, Kupikir Kau Naksir Aku

Mengulas Buku Dzawin : Santri Jahil Iyah - Konsistensi dalam Komedi

Ulasan Film Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) - Patut untuk Ditertawakan, Hah