Menunggu #2


          Jam 4 pagi. Bukankah hari ini aku akan …. Aku tersenyum dengan pikirian anehku itu. Tapi, itu bukan hal yang buruk untuk dicoba.
           
      Sepi sekali kelasnya. Aku melirik jam, hmm pantas saja sepi jarum panjang baru saja menapakkan dirinya di angka 12 dan jarum pendek mengekor di angka 6. Baru kali ini aku berangkat sepagi ini, padahal biasanya aku berangkat dengan ritual berlomba dengan bunyi bel sekolah. Hahaha sekali lagi aku tertawa memikirkan rencanaku itu. Baiklah, langkah pertama sudah terlaksana, selanjutnya langkah yang kedua, duduk menunggu.
           
        “Eh tumben berangkat pagi. Ada ulangan kah?” , itu Cara, temanku sekaligus sahabat aku ini memang anak yang rajin, pandai pula ia. “Enggak, kok kamu mikirnya ada ulangan sih?” aku sedikit tersinggung dengan ucapannya. “Haha, maaf, biasanya kan gitu, kalau ada ulangan banyak yang berangkat pagi”. Aku memutar bola mataku mendengar jawaban Cara yang memang benar. Ngomong-ngomong aku masih menunggu
            
       Satu persatu teman-temanku datang, namun dia belum muncul juga. Kemana ya kiranya dia, jangan-jangan dia tidak masuk. Semoga saja tidak. Mataku melirik ke kanan dan ke kiri tidak jelas, khas seperti orang yang sedang mencari seseorang. “Hei, kamu kenapa sih? Dari tadi nengok sana nengok sini, hah?”, tanya Cara yang duduk di bangku sebelahku. “Enggak ada apa-apa kok”, jawabku. “Benar? Khawatir aku sama kamu.” “Hah? Biasa aja kali hahaha. Aku itu bosan, ternyata berangkat pagi enggak enak, nunggu bel masuk aja lama banget.” Tentu saja itu bukan jawaban yang jujur. “Dasar, kamu aja yang suka nelat” “itu bukan nelat, tapi tepat waktu”, jawabku sambil menjulurkan lidahku. “Iyalah”, yah itu kalau Cara lagi enggak mau berdebat, selalu saja jawabannya itu.
          
           Akhirnya bel masuk pun berbunyi. Namun sampai sekaarang dia belum datang, kemana kiranya dia? Suara langkah sepatu terdengar, khas langkah seorang guru yang bijak. Pak Guntur, guru Bahasa Indoneisa kami, guru favoritku. Aku tersenyum melihat Pak Guntur di depan pintu, namun bukan karena Pak Guntur yang berdiri, tapi seseorang yang di belakang Pak Guntur. Dia? Diam-diam ia mengikuti langkah Pak Guntur, ya hari ini dia yang berlomba dengan bunyi bel sekolah, namun ia kalah. Saat Pak Guntur berjalan menuju mejanya, dia melangkah diam-diam menuju kursi kosong yang tersisa di pojok belakang. Tepat saat Pak Guntur menoleh ke arah kami, dia sudah berada pada posisi terbaiknya. Aku tersenyum melihat tingkah konyolnya, oh bukan hanya aku, tetapi satu kelas. Ia bersikap wajar layaknya tidak terjadi apa-apa.

           Akhirnya, datang juga yang kutunggu.
           
        “Rendi, kamu telat ya?”, Ucap Pak Guntur sebagai salam pembukanya. Rendi hanya tersenyum malu. Ah lucu sekali dia. “Maaf, Pak”

Comments

Popular posts from this blog

Hiks, Kupikir Kau Naksir Aku

Mengulas Buku Dzawin : Santri Jahil Iyah - Konsistensi dalam Komedi

Ulasan Film Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) - Patut untuk Ditertawakan, Hah