Andini dan Bahar #Part1

Jadi, dikarenakan tidak ada hal yang bisa aku komentari aku menulis cerpen. Niatnya sih pingin buat kumpulan cerpen, tapi nggak taulah, pasti kalau nulis berhenti di tengah hahaha. Akhirnya, aku putuskan untuk mem-posting cerpenku ini yang akan aku upload menjadi beberapa bagian, semacam cerita bersambunglah jadinya. aku juga pernah nulis cerbung, tapi ya itu, berhenti di tengah hahaha. Kumpulan cerbungku ada disini nih, mampir dong :p Dan inilah ceritaku.

Andini dan Bahar

Suatu senja di tepi pantai, ombak berderu tenang tanpa permusuhan. Mengajak pengunjung yang berdatanga mendekat untuk bermain bersama. Ramai orang di sana, ada yang berlarian saling mengejar atau melempar bola, ada yang hanya duduk saja berangkul-rangkulan menikmati langit jingga yang akan terbenam, banyak yang menggelar tikar dan hanya tiduran, warung-warung membuka lapak untuk mengenyangkan para pelanggan di waktu malam, beberapa orang berjalan menjauh untuk kembali pulang. Namun kebanyakan lebih memilih untuk duduk diam dan menikmati senja di tepi pantai.
            
Jauh dari keramaian, masih di tempat yang sama, sendirian berdiri seorang perempuan berambut panjang agak kemerah-merahan, kulitnya cokelat tanda dari terlalu lama ia berteman dengan matahar. Kain dasternya berkibar-kibar mengikuti arah angin, warna kainnya jingga senada dengan rambutnya yang kemerah-merahan yang juga ikut melambai menyapa. Ia menikmati senja dengan mata terpejam, ia tak hanya melihat tapi merasakan. Tidak hanya melihat langit yang berwarna jingga menggoda namun juga sinar mataharinya yang terasa menghangatkan. Angin dingin mulai menyapa dan juga deru ombak saling mengejar. Kepakan sayap burung yang mencari rumah untuk pulang menambah harmonisasi indra telinga. Ia menghirup napas pangjang menghembuskannya dan membuka matanya. Setitik kecil terlihat di pulau seberang sana, kontras dengan siluet nyiur kelapa yang melambai.
            
Ia tak pernah tahu titik hitam itu. Setiap senja selalu datang, semua berubah, suara kepakan sayap, suara kapal berlayar, suara angin yang menyapa, debur ombak yang berkejaran, semua berubah. Keculi titik hitam di pulau seberang sana. Tarian nyiur kelapa di pulau seberang sana juga berubah mengiuti irama angin. Namun tidak dengan titik hitam di pulau seberang sana.
            
Saat langit jingga berubah menjadi gelap dan cahaya api unggun mulai terbangun di mana-mana, Andini kembali pulang ke gubuknya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berjalan ditemani bintang yang bertaburan serta rembulan yang hanya separo. Ia mengambil obor yang terletak di dekat pohon kelapa lalu berjalan sebentar untuk meminta api kepada para pekemah muda yang sedang liburan. Para pekemah itu memberikan api dengan ramah sembari mengambil foto Andini yang terlihat sangat asri. Akan dioleh-olehkannya foto itu untuk teman-teman mereka, wanita cantik dengan kain jingga senja berambut kemerah-merahan.
            
Andini berjalan mantab memegang obor ditemani bintang dan bulan dan kenangan titik hitam di pulau sebrang. Ia memikirkan titik hitam itu. Apakah titik hitam itu juga melihatnya dari pulau seberang sana? Ataukan bahkan titik hitam itu tak menghiraukannya sama sekali? Mungkin ia hanya berdiri dan tak melihat Andini. Mungkin ia hanya menikmati senja dan tidak melihatnya sama sekali. Tetapi, tetap saja titik hitam itu selalu ada saat Andini melihat senja.
            
Senja datang lagi, Andini pun datang kembali. Ia menikmati senja seperti senja-senja sebelumnya. Tapi untuk kali ini, titik hitam itu tidak ada. Matahari masih tinggi, mungkin sebentar lagi titik hitam itu muncul. Andini memejamkan matanya seperti biasa untuk menikmati senja. Merasakan hangatnya mentari jingga, angin laut yang menyapa, kepak sayap burung yang berbalap untuk pulang, harum pasir putih yang basah. Kaki telanjangnya menapak pasir yang menggelikan. Ia hirup lagi oksigen murni disana. Ia merasakan ombak akan menyapanya, debum airnya dapat ia dengar. Benar saja sekumpulan air berhasil membuat gelomang kecil dan menyapa Andini. Andini terpejam dan merasakan airnya berhasil menyentuhnya hingga pahanya sebentar. Arus air kuat kembali terseret ke arah lautan namun pijakan kaki Andini lebih kuat.
            
Ting. Sesutu tersangkut di kakinya membuat kerutan di dahi Andini terbentuk. Andini membuka mata dan melihat apa yang tersangkut di kakinya. Diambillah sebuah botol bening dengan penutup kayu. Terlihatlah benda yang ada di dalamnya, silinder putih kecokelatan. Andini diam sebentar memutuskan apa yang harus ia lakukan terhadap benda itu. Ia alihkan pandangannya dari botol ke pulau seberang dan melihat titik hitam itu melambai kepadanya. Bukan, ia merasakan titik hitam itu melambai kepadanya. Titik itu melambai tidak seperti nyiur kelapa yang mengikuti arah angin, titik itu melambai seperti seseorang yang ingin menyapa dan mengajak berkenalan.
            
Andini membuka tutup botol dan mengeluarkan benda di dalamnya. Sebuah gulungan kertas. Andini meraba tekstur kertas itu, kasar dan kuat. Setelah diamati masih terlihat sedikit tekstur garis-garis tak beraturan. Ia meraba dan kembali meraba, baunya sangat familiar, seperti alam. Bau basah. Kayu yang basah. Ia membuka gulungan itu, terlihat garis-garis hitam legam sehitam arang menempel disana, terus ia buka hingga terlihat lukisan seorang wajah lelaki yang rupawan menggunakan ikat kepala dan tersenyum. Matanya sangat tajam menatapnya membuat Andini merasa berada di hadapannya dan sedang menatapnya. Disamping gambar itu terdapat tulisan tidak rapi namun bisa dibaca. BAHAR. Andini kembali menoleh ke arah seberang dan masih merasakan titik hitam di pulau seberang itu melambai menyapa kepadanya. Andini tersenyum, Halo Bahar.

Comments

Popular posts from this blog

Hiks, Kupikir Kau Naksir Aku

Mengulas Buku Dzawin : Santri Jahil Iyah - Konsistensi dalam Komedi

Ulasan Film Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) - Patut untuk Ditertawakan, Hah