Aku dan Kemarahan


Apa yang ada di pikiran kalian saat marah? Teriak, teriak dan teriak. Banting, banting, dan banting. Well, sebenernya itu pikiran gue sih. Lalu orang lain akan bingung melihat tingkah gue yang begitu brutal. Teriak-teriak nggak jelas, banting apapun yang dipegang, nutup pintu keras-keras. Gitu kalau gue marah. Dan gue nggak pernah mikir isi pikiran orang lain, pokoknya luapan emosi kemarahan gue terluapkan.

Instropeksi diri aja. Secara umum, apa yang ada dipikiran loe itu adalah cerminan pikiran orang lain. Apa yang loe pikirin saat liat orang lain marah-marah? Mungkin itu juga jadi isi pikiran orang lain saat liat loe marah. kalo gue liat orang lain marah-marah pasti mikir “Apa sih masalah dia? Gue harus gimana?” karena gue nggak pernah nemu jawaban tentang hal yang harus dilakuin, ya gue diem.  

Marah menurut gue suatu emosi yang merusak segalanya. Segalanya. Pertama, merusak muka. Gue yakin muka gue waktu marah jelek banget, yakin. Kedua, marah merusak “hubungan sosial”. Seperti yang udah dijelasin diatas, orang lain bingung harus ngapain. Ngeliat loe yang diem nggak jelas, ditanya jawabnya juga “aku nggak papa” dan loe nggak mau cerita tentang masalah loe. So, mereka bakal ninggalin loe, “mungkin dia (orang yang marah) butuh waktu sendiri”. Ketiga, marah nambah dosa. Kalo marah pikiran nggak jernih, semua kata-kata kotor keluar, bahkan bakal teriak “hidup ini nggak adil, Tuhan nggak adil”. Nah loh, nambah dosa kan? Keempat, muka loe jelek kalo marah, nggak cuman gue doang.

Marah itu boleh-boleh saja, wajar, manusiawi. Itu bagian dari sebuah emosi. “Yang jadi masalah dengan kemarahan adalah kita menikmati marah. Ada sejenis  kecanduan dan kenikmatan besar sehubungan dengan pelampiasan kemarahan. Dan kita tak ingin membiarkan sesuatu yang kita nikmati berlalu begitu saja.” (sengaja dibold) Tulisan itu gue kutip dari buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, kalo mau tau isi buku itu, udah gue review di postingan sebelumnya. Bukunya recommended buat dibaca. (Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya - Review Buku)

Nah, dari kutipan itu, sudah ngerti kan ya masalah dari sebuah kemarahan. Yaitu kita menikmati sebuah kemarahan. Kalo gue emang setuju, saat gue marah gue pingin banget teriak-teriak buat nunjukkin kalo gue lagi marah, pingin banget banting barang, aaaarrrrgggghhhhhh, pokoknya marah, dan gue “menikmati” kemarahan itu. Makanya kemarahan itu nggak cepet usai. Kenikmatan itu yang membuat kita kecanduan marah.

Rasulullah mengajarkan bagaimana cara menghadapi suatu kemarahan. Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad). Kenapa harus gitu? “Orang yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Rasulullah. Perintah beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau duduk tidak segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi menyebabkan dia menyesali perbuatannya setelah itu.”

Tapi, jujur, kadang itu nggak berhasil di gue. Kalo tips ala gue menghadapi kemarahan, gampang. Marah, nggak papa marah, gue juga teriak, tapi dalam hati, gue juga banting barang, tapi dalam hati juga. Tinggal merem, bayangain kalo gue sedang meluapkan kemarahan, capek marah, terus ketiduran. Bangun tidur, masalah selesai (read : pikiran lebih jernih buat mikirin permasalahannya)  It’s so easy, dude.

Jadi, marah itu wajar, no problema. Yang jadi permasalahan itu adalah menyikapi sebuah kemarahan. Cara menyikapi suatu peristiwa atau emosi dan sebagainya itu menunjukkan tingkat kedewasaan dan pendidikan loe. Kalo loe marah dan tingkahnya brutal, lalu apa bedanya loe sama anak kecil yang marah karena tidak dibeliin mainan? Kalo loe marah dan tingkah loe brutal, lalu apa bedanya loe sama orang yang nggak punya pendidikan?

Comments

Popular posts from this blog

Hiks, Kupikir Kau Naksir Aku

Mengulas Buku Dzawin : Santri Jahil Iyah - Konsistensi dalam Komedi

Ulasan Film Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) - Patut untuk Ditertawakan, Hah